Tidakbaik menunda sebuah hal yang seharusnya baik dan bisa disegerakan. Percayalah pasti ada jalan untuk orang-orang yang memiliki niat baik. Entah kelapangan rejeki, entah bantuan yang tiba-tiba datang. Pada akhirnya Tuhan akan memberikan jalan bagi orang-orang yang sudah berniat baik dan memilki tekad yang kuat.
NIAT UNTUK BERBUAT BAIK MENDAPAT PAHALAOleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه اللهعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا ، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَـا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ، قَالَ إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْـحَسَنَاتِ وَالسَّيِّـئَاتِ ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا ، كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً ، وَإِنْ هَمَّ بِـهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهُ اللّـهُ عَزَّوَجَلَّ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ ، وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّـئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا ؛ كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً ، وَإِنْ هَمَّ بِهَـا فَعَمِلَهَا ، كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً ». رَوَاهُ الْـبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ فِـيْ صَحِيْحَيْهِمَـا بِهَذِهِ الْـحُرُوْفِ Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang hadits yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya Azza wa Jalla . Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allâh menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan namun dia tidak jadi melakukannya, Allâh tetap menuliskanya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya. Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Allâh menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat sampai kelipatan yang banyak. Barangsiapa berniat berbuat buruk namun dia tidak jadi melakukannya, maka Allâh menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan barangsiapa berniat berbuat kesalahan kemudian mengerjakannya, maka Allâh menuliskannya sebagai satu kesalahan.” [HR. al-Bukhâri dan Muslim dalam kitab Shahiih mereka]TAKHRIJ HADITS Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri no. 6491, Muslim no. 131 [207] dan Ahmad I/310, 361.Dalam riwayat Muslim no. 131 [208], dibagian akhir hadits ini ada tambahan وَ مَحَاهَا اللهُ ، وَلَا يَـهْلِكُ عَلَـى الله إِلَّا هَالِكٌDan Allâh Azza wa Jalla menghapusnya dan tidak ada yang binasa kecuali orang yang yang semakna dengan hadits di atas banyak sekali. Di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Allâh Azza wa Jalla berfirman kepada para malaikat إِذَا أَرَادَ عَبْدِيْ أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً ؛ فَلَا تَكْتُبُوْهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَـا ، فَإِذَا عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا بِمِثْلِهَا ، وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِـيْ فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً ، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً ؛ فَإِذَا عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِـهَا إِلَى سَبْعِمِائَةٍJika hamba-Ku berniat melakukan kesalahan, maka janganlah kalian menulis kesalahan itu sampai ia benar-benar mengerjakannya. Jika ia sudah mengerjakannya, maka tulislah sesuai dengan perbuatannya. Jika ia meninggalkan kesalahan tersebut karena Aku, maka tulislah untuknya satu kebaikan. Jika ia ingin mengerjakan kebaikan namun tidak mengerjakannya, tulislah sebagai kebaikan untuknya. Jika ia mengerjakan kebaikan tersebut, tulislah baginya sepuluh kali kebaikannya itu hingga tujuh ratus kebaikan.’”[1]Dalam riwayat Muslim, disebutkanقَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا تَـحَدَّثَ عَبْدِيْ بِأَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً ؛ فَأَنَا أَكْتُبُهَا لَهُ حَسَنَةً مَا لَـمْ يَعْمَلْ ، فَإِذَا عَمِلَهَا فَأَنَا أَكْتُبُهَا بِعَشْرِ أَمْثَالِـهَا ، وَإِذَا تَـحَدَّثَ بِأَنْ يَعْمَلَ سَيِّـئَةً ، فَأَنَا أَغْفِرُهَا لَهُ مَا لَـمْ يَعْمَلْهَا ، فَإِذَا عَمِلَهَا فَأَنَا أَكْتُبُهَا لَهُ بِمِثْلِهَا. وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتِ الْـمَلَائِكَةُ رَبِّ ، ذَاكَ عَبْدُكَ يُرِيْدُ أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً وَهُوَ أَبْصَرُ بِهِ فقَالَ اُرْقُبُوْهُ ، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ بِمِثْلِهَا ، وَإِنْ تَرَكَهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً ، إِنَّمَـا تَرَكَهَا مِنْ جَرَّايَ. وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلَامَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ بِعَشْرِ أَمْثَالِـهَا إِلَـى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ ، وَكُلُّ سَيِّـئَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ بِمِثْلِهَا حَتَّى يَلْقَى Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ’Jika hamba-Ku berniat mengerjakan kebaikan, maka Aku menuliskan baginya satu kebaikan selagi ia tidak mengerjakannya. Jika ia sudah mengerjakannya, Aku menuliskan baginya sepuluh kali kebaikannya itu. Jika ia berniat mengerjakan kesalahan, maka Aku mengampuninya selagi ia tidak mengerjakannya. Jika ia sudah mengerjakan kesalahan tersebut, maka Aku menulisnya sebagai satu kesalahan yang sama.” Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Para malaikat berkata, ’Wahai Rabb-ku, itu hamba-Mu ingin mengerjakan kesalahan –Dia lebih tahu tentang hamba-Nya-.’ Allâh berfirman, ’Pantaulah dia. Jika ia mengerjakan kesalahan tersebut, tulislah sebagai satu kesalahan yang sama untuknya. Jika ia meninggalkan kesalahan tersebut, tulislah sebagai kebaikan untuknya, karena ia meninggalkan kesalahan tersebut karena takut kepada-Ku.’” Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian memperbaiki keislamannya, maka setiap kebaikan yang dikerjakannya ditulis dengan sepuluh kebaikan yang sama hingga tujuh ratus kali lipat dan setiap kesalahan yang dikerjakannya ditulis dengan satu kesalahan yang sama hingga ia bertemu Allâh.”[2]Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam beliau bersabda كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ اَلْـحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِـهَا إِلَـى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ. قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ ، فَإِنَّهُ لِـيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِـيْ…Setiap perbuatan anak Adam dilipatgandakan; satu kebaikan dengan sepuluh kebaikan yang sama hingga tujuh ratus kali lipat. Allâh Azza wa Jalla berfirman, ’Kecuali puasa, karena ia milik-Ku dan Aku yang membalasnya. Ia orang yang berpuasa meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku …’”[3]Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam beliau bersabda يَقُوْلُ اللهُ مَنْ جَاءَ بِالْـحَسَنَةِ ، فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِـهَا وَ أَزِيْدُ ، وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ ، فَجَزَاؤُهُ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ، أَوْ berfirman, Barangsiapa mengerjakan kebaikan, ia berhak atas sepuluh kebaikan yang sama dan Aku tambahkan kebaikan kepadanya. Dan barangsiapa mengerjakan kesalahan, balasannya ialah kesalahan yang sama atau Aku mengampuninya.’”[4]Dan dari Anas Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , beliau bersabda مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا ، كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً ، فَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ لَهُ عَشْرًا ، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّـئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا ، لَـمْ تُكْتَبْ شَيْئًا فَإِنْ عَمِلَهَا ، كُتِبَتْ سَيِّـئَةً menginginkan kebaikan kemudian tidak mengerjakannya, maka satu kebaikan ditulis untuknya. Jika ia mengerjakan kebaikan tersebut, maka sepuluh kebaikan ditulis baginya. Dan barangsiapa menginginkan kesalahan kemudian tidak mengerjakannya, maka tidak ditulis apa-apa baginya. Jika ia mengerjakan kesalahan tersebut, maka ditulis satu kesalahan baginya.[5]SYARAH HADITS Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Wahai saudaraku –semoga Allâh memberikan petunjuk kepada kita semua-, lihatlah betapa sempurna kelemahlembutan Allâh Azza wa Jalla ! Renungilah untaian kalimat-kalimat ini. Sabda beliau عِنْدَهُ di sisi-Nya mengisyaratkan perhatian Allâh terhadap amalan hamba. Kata كَامِلَةً sempurna berfungsi sebagai penegas dan menunjukkan perhatian Allâh yang besar beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang keburukan yang diniatkan oleh seorang hamba namun ditinggalkannya كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً Maka Allâh Azza wa Jalla mencatatnya sebagai satu kebaikan sempurna. Beliau menguatnya dengan kata “Kamilah” sempurna. Sedangkan jika ia tetap melakukan keburukan itu, maka Allâh mencatatnya sebagai satu keburukan. Di sini, kecilnya balasan dikuatkan dengan kata “wahidah” satu bukan dengan kata “kaamilah”..”[6]Hadits-hadits di atas menjelaskan tentang penulisan kebaikan dan kesalahan, serta penulisan terhadap keinginan mengerjakan kebaikan dan kesalahan. Jadi, di sini ada empat point Pertama Mengerjakan kebaikan Balasan kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali hingga tujuh ratus kali kebaikan bahkan sampai tak terhingga. Pelipatgandaan satu kebaikan menjadi sepuluh, berlaku bagi seluruh kebaikan. Ini ditunjukkan oleh firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Barangsiapa berbuat kebaikan, maka dia mendapatkan balasan sepuluh kali lipat amalnya.” [al-An’âm/6160]Adapun balasan yang lebih dari sepuluh kali lipat diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allâh seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai ada seratus biji. Allâh melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allâh Maha luas, Maha Mengetahui.” [al-Baqarah/2261]Ayat ini menunjukkan bahwa infak di jalan Allâh dilipatgandakan hingga tujuh ratus kali dari Abu Mas’ud Radhiyallahu anhu , ia mengatakan, “Ada seseorang datang dengan membawa untanya yang sudah diberi tali kendali, kemudian orang itu mengatakan, Wahai Rasulullah! Unta ini untuk berjuang di jalan Allâh.’ Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Pada hari Kiamat, engkau berhak mendapat unta sebanyak tujuh ratus ekor. Semuanya sudah diberi tali kendali memiliki cap tanda.’”[7]Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu tentang firman Allâh dalam hadits Qudsi, “Kecuali puasa, karena ia milik-Ku dan Aku yang membalasnya,” menunjukkan bahwa pelipatgandaan pahala puasa tidak diketahui kecuali oleh Allâh Azza wa Jalla , karena puasa adalah sabar yang paling baik. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “…Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” [az-Zumar/3910]Pelipatgandaan balasan kebaikan menjadi lebih dari sepuluh itu sesuai dengan kwalitas keislaman seseorang. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan lain-lain. Balasan itu juga sesuai dengan keikhlasan, keunggulan suatu amalan dan kebutuhan. Kedua Mengerjakan kejahatan atau keburukan Satu keburukan ditulis satu keburukan tanpa dilipatgandakan, seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya, “…Dan barangsiapa berbuat kejahatan, maka dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan dizhalimi.” [al-An’âm/6160]Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , yang artinya, ”Maka ditulis untuknya satu kesalahan,” menunjukkan bahwa kesalahan tidak dilipatgandakan. Namun terkadang sebuah kesalahan bisa menjadi besar disebabkan kehormatan waktu dan tempat perbuatan buruk itu dilakukan, seperti difirmankan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allâh ialah dua belas bulan, sebagaimana dalam ketetapan Allâh pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah ketetapan agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan yang empat itu…” [at-Taubah/936]Tentang ayat di atas, Qatâdah t menjelaskan, ”Ketahuilah ! Kezhaliman di bulan-bulan haram itu lebih besar dosanya daripada di bulan-bulan lainnya, kendati kezhaliman di setiap kondisi itu tetap besar, namun Allâh Subhanahu wa Ta’ala menganggap besar apa yang dikehendaki-Nya.”[8]Allâh Azza wa Jalla berfirman الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّMusim haji itu pada bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan ibadah haji dalam bulan-bulan itu, maka janganlah ia berkata jorok rafats, berbuat maksiat fusuq dan bertengkar dalam melakukan ibadah haji…” [al-Baqarah/2197]Ibnu ’Umar Radhiyallahu anhuma berkata, ”Fusuq pada ayat di atas maksudnya melakukan perbuatan maksiat; baik dengan berburu atau lainnya di tanah haram-red.”[9] Dalam kesempatan lain, Ibnu ’Umar c juga menjelaskan, ”Fusuq maksudnya melakukan perbuatan maksiat di tanah haram Makkah.”[10]Dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “…Dan siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zhalim di dalamnya masjidil Haram-red, niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih.” [al-Hajj/2225]Banyak shahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang berusaha tidak tinggal di tanah haram Makkah karena khawatir berbuat dosa di sana, misalnya, Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu dan Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhu. Hal yang sama dilakukan Umar bin Abdul Aziz Radhiyallahu kesalahan terkadang dilipatgandakan balasannya disebabkan pelakunya orang terpandang, banyak tahu tentang Allâh dan dekat kepada-Nya. Oleh karena itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengancam akan melipatgandakan balasan kemaksiatan jika dilakukan oleh para hamba pilihan-Nya, padahal Allâh Azza wa Jalla telah menjaga mereka dari kemaksiatan tersebut. Pemberian ancaman ini bertujuan untuk menampakkan betapa agung nikmat Allah Azza wa Jalla kepada mereka yang telah menjaga mereka dari berbagai berbuatan maksiat. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan sekiranya Kami tidak memperteguh hatimu, niscya engkau hampir saja condong kepada mereka, jika demikian, tentu akan Kami rasakan kepadamu siksaan berlipat ganda di dunia ini dan berlipat ganda setelah mati, dan engkau Muhammad tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami.” [al-Isrâ’/1774-75]Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Wahai istri-istri Nabi! Barangsiapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan-perbuatan keji yang nyata, niscaya adzabnya akan dilipatgandakan dua kali lipat kepadanya. Dan yang demikian itu mudah bagi Allâh. Dan barangsiapa di antara kamu istri-istri Nabi tetap taat kepada Allâh dan Rasul-Nya dan mengerjakan kebaikan, niscaya Kami berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki yang mulia baginya. Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk melemahlembutkan suara dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” [al-Ahzâb/3330-32]Ali bin al-Husain rahimahullah menafsirkan bahwa keluarga Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dari Bani Hâsyîm juga seperti istri-istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam karena kedekatan mereka dengan beliau Shallallahu alaihi wa sallam [11]Ketiga Berniat mengamalkan kebaikan Niat ini ditulis sebagai satu kebaikan sempurna, walaupun pelakunya tidak mengerjakannya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma dan lain-lain. Dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , riwayatkan Muslim disebutkan إِذَا تَـحَدَّثَ عَبْدِيْ بِأَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً ؛ فَأَنَا أَكْتُبُهَا لَهُ حَسَنَةً مَا لَـمْ يَعْمَلْJika hamba-Ku berniat ingin mengerjakan kebaikan, maka Aku menulis satu kebaikan hadits ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan tahadduts yaitu haditsunnafsi niat kuat yang disertai ambisi untuk beramal. Jadi, tidak hanya sekedar bisikan hati yang kemudian hilang tanpa semangat dan tekad untuk beramal.[12]Jika niat sudah disertai perkataan dan usaha, maka balasan sudah pasti diraih dan orang itu sama seperti orang yang melakukan, seperti diriwayatkan dari Abu Kabsyah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , beliau bersabda إِنَّمَـا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَعِلْمًـا فَهُوَ يَـتَّـقِيْ فِيْهِ رَبَّـهُ وَيَصِلُ فِيْهِ رَحِـمَهُ وَيَعْلَمُ لِلهِ فِيْـهِ حَقًّا ، فَهَذَا بِأَفْضَلِ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًـا وَلَـمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِـّـيَّـةِ يَقُوْلُ لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ ، فَهُوَ بِنِـيَّـتِـهِ فَأَجْرُهُـمَـا سَوَاءٌ , وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَلَـمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًـا فَهُوَ يَـخْبِطُ فِـي مَالِـهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِـيْـهِ رَحِـمَهُ وَلَا يَعْلَمُ للهِ فِـيْـهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْـمَنَازِلِ , وَعَبْدٍ لَـمْ يَرْزُقْـهُ اللهُ مَالًا وَلَا عِلْمًـا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا لَعَمِلْتُ فِيْـهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُـمَـا سَوَاءٌ Sesungguhnya dunia hanyalah diberikan untuk empat orang pertama hamba yang Allâh berikan ilmu dan harta, kemudian dia bertakwa kepada Allâh dalam hartanya, dengannya ia menyambung silaturahmi, dan ia menyadari bahwa dalam harta itu ada hak Allâh. Inilah kedudukan paling baik di sisi Allâh. kedua hamba yang Allâh berikan ilmu namun tidak diberikan harta, dengan niatnya yang jujur ia berkata, Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Maka dengan niatnya itu, pahala keduanya sama. ketiga hamba yang Allâh berikan harta namun tidak diberikan ilmu, lalu ia menggunakan hartanya sewenang-wenang tanpa ilmu, tidak bertakwa kepada Allâh dalam hartanya, tidak menyambung silaturahmi dan tidak mengetahui bahwa dalam harta itu ada hak Allâh. Ini adalah kedudukan paling jelek di sisi Allâh. Dan keempat hamba yang tidak Allâh berikan harta tidak juga ilmu, ia berkata, Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Maka dengan niatnya itu, keduanya mendapatkan dosa yang sama.”[13]Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , ”Maka pahala keduanya sama,” maksudnya sama dalam hal ganjaran pokok balasan niat-red dan tidak sama dalam pelipatgandaan ganjaran. Karena pelipatgandaan balasan kebaikan hanya khusus diberikan bagi orang yang sudah mengerjakannya, bukan yang sekedar meniatkannya. Jika keduanya disamakan dalam segala hal, maka ini tidak sesuai dengan hadits-hadits yang ada. Ini juga ditunjukkan dalam firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk yang tidak ikut berperang tanpa mempunyai udzur halangan dengan orang yang berjihad di jalan Allâh dengan harta dan jiwanya. Allâh melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk tidak ikut berperang tanpa halangan. Kepada masing-masing, Allâh menjanjikan pahala yang baik surga dan Allâh melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, yaitu beberapa derajat daripadanya, serta ampunan dan rahmat. Allâh Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [an-Nisâ’/495-96]Ibnu ’Abbas Radhiyallahu anuma dan lain-lain mengatakan, ”Orang-orang yang duduk tidak ikut perang yang berbeda satu derajat dengan mujahidin ialah orang-orang yang tidak ikut perang karena mempunyai udzur, sedang orang-orang yang tidak ikut perang tanpa memiliki udzur berbeda banyak derajat dengan para mujahidin.”[14]Keempat Berniat melakukan keburukan, tetapi tidak dierjakan Dalam hadits Ibnu ’Abbas Radhiyallahu anhuma disebutkan bahwa orang yang berniat melakukan keburukan namun tidak dikerjakannya, maka itu ditulis sebagai satu kebaikan yang sempurna. Hal yang sama disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan lain-lain. Dalam hadits Abu Hurairah disebutkan, ”Dia meninggalkan kesalahan tersebut karena takut kepada-Ku.”[15] Ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dalam hadits itu ialah orang yang mampu mengerjakan kemaksiatan yang ia inginkan namun kemudian ia tinggalkan karena Allâh Azza wa Jalla . Untuk orang seperti ini, pasti dituliskan baginya sebagai kebaikan. Sebab, meninggalkan maksiat karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala merupakan amal orang yang berniat mengerjakan maksiat kemudian meninggalkannya karena takut kepada manusia atau karena riya’, maka ada yang berpandangan ia tetap disiksa. Karena mendahulukan takut kepada manusia daripada takut kepada Allâh itu hukumnya haram. Begitu juga bermaksud riya’. Jadi, jika seseorang meninggalkan maksiat karena riya’, ia tetap orang yang berusaha mengerjakan kemaksiatan dengan segenap tenaganya kemudian dihalang-halangi takdir, maka sejumlah ulama menyebutkan bahwa ia disiksa karenanya, sebab Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda إِنَّ اللهَ تَـجَاوَزَ لِأُمَّتِـيْ مَـا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَـمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِSesungguhnya Allâh memaafkan umatku dari keburukan yang mereka bisikkan ke jiwa mereka selagi mereka tidak mengucapkannya atau mengerjakannya.[16]Barangsiapa berniat dan mengerahkan kemampuannya untuk mengerjakan kemaksiatan kemudian tidak mampu mengerjakannya, maka ia termasuk orang yang telah mengerjakannya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda إِذَا الْتَقَى الْـمُسْلِمَـانِ بِسَيْفَيْهِمَـا ، فَالْقَاتِلُ وَالْـمَقْتُوْلُ فِـي النَّارِ. فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ ! هَذَا الْقَاتِلُ ، فَمَـا بَالُ الْـمَقْتُوْلُ ؟ قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيْصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِJika dua orang muslim bertemu dengan pedang masing-masing, maka pembunuh dan yang terbunuh tempatnya di neraka.” Aku Abu Bakrah berkata, “Wahai Rasulullah ! Ini berlaku bagi pembunuh, bagaimana dengan orang yang dibunuh ?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya ia ingin sekali membunuh sahabatnya tersebut.”[17]Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , yang artinya, “Selagi mereka tidak mengatakannya atau mengerjakannya,” menunjukkan bahwa orang yang berniat melakukan maksiat, jika ia sudah mengutarakan keinginnnya itu dengan lisan, berarti ia berdosa karena ia telah berlaku maksiat dengan salah satu organ tubuhnya, yaitu lidahnya. Ini juga diperkuat dengan hadits yang menjelaskan tentang orang yang berkata, “Seandainya aku mempunyai harta, aku pasti mengerjakan apa yang dikerjakan si fulan yang bermaksiat kepada Allâh dengan hartanya,” kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kedua-duanya sama dalam dosa”Ada sebagian orang berpendapat bahwa dia tidak berdosa dengan sebab mengutarakan keinginan buruknya, selama maksiat yang diinginkan itu tidak berbentuk ucapan haram seperti ghibah, dusta dan lain sebagainya. Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam إِذَا تَـحَدَّثَ عَبْدِيْ بِأَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً ؛ فَأَنَا أَغْفِرُهَا لَهُ مَا لَـمْ يَعْمَلْJika hamba-Ku berniat mengerjakan keburukan, maka Aku ampuni dia selama ia belum mengerjakannyaPendapat ini tidak kuat, karena kalimat tahaddatsa dalam hadits itu maksudnya bisikan hati, bukan ucapan lidah. Ini untuk menggabungkan pengertian hadits ini dengan hadits, “Selagi ia tidak mengatakannya atau mengerjakannya.”Hadits Abu Kabsyah di atas juga menegaskan hal ini[18]. Karena ucapan, “Seandainya aku mempunyai harta, aku pasti mengerjakan kemaksiatan seperti yang dikerjakan si fulan,” bukanlah maksiat yang ia inginkan, namun ia hanya mengutarakan maksiat yang ia inginkan, yaitu ingin menggunakan harta untuk maksiat, padahal ia tidak mempunyai harta sedikit pun. Jadi, mengatakan keinginan seperti itu yang dimaksud pembicaraan di hadits tersebut adalah pembicaraan hati. Ini sebagai penggabungan antara hadits tersebut dengan hadits, “Selagi ia tidak mengatakannya atau mengerjakannya.” Hadits Abu Kabsyah menegaskan hal ini bahwa ucapan seseorang, “Seandainya aku mempunyai harta, aku pasti mengerjakan kemaksiatan di dalamnya seperti yang dikerjakan si fulan,” itu bukan mengerjakan kemaksiatan yang ia inginkan, namun ia menjelaskan tentang apa yang ia inginkan, yaitu menggunakan harta pada kemaksiatan-kemaksiatan, padahal ia tidak mempunyai harta sedikit pun. Selain itu, mengatakan keinginan seperti itu diharamkan, jadi bagaimana pembicaraan seperti itu dimaafkan dan tidak disiksa karenanya?Bagaimana jika niatnya berbuat maksiat melemah ? Jika niat seseorang hilang dan tekadnya melemah tanpa ada faktor dari dirinya, apakah ia tetap disiksa karena kemaksiatan yang ia inginkan atau tidak ? Dalam hal ada dua masalah Pertama, Jika keinginan untuk mengerjakan maksiat itu hanya berupa lintasan bisikan jiwa yang muncul tanpa digubris oleh pelakunya dan ia tidak membiarkannya dalam hatinya, bahkan ia membencinya dan berusaha menghindarinya, maka keinginan tersebut dimaafkan, tidak berdosa. Keinginan ini seperti waswas jelek yang pernah ditanyakan kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,ذَلِكَ صَرِيْحُ الْإِيْمَـانِItulah hakikat iman[19]Ketika Allâh Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ ۖ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ “…Jika kamu menyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allâh memperhitungkannya tentang perbuatan itu bagimu. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengadzab siapa yang Dia kehendaki…” al-Baqarah/2284, kaum muslimin merasa resah, karena mereka mengira bisikan-bisikan hati masuk dalam cakupan ayat di atas. Kemudian turunlah ayat sesudahnya, yang diantaranya yaitu firman Allâh Azza wa Jalla رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ… Wahai Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya… [al-Baqarah/2286]Ayat ini menjelaskan, apa saja yang tidak sanggup mereka kerjakan maka mereka tidak akan dibebani dan tidak disiksa keinginan berbuat maksiat itu sudah menjadi tekad kuat, terus bergelora dan disenangi pelakunya. Ini juga terbagi ke dalam dua bagian Menginginkan sesuatu yang merupakan perbuatan hati, seperti ragu tentang keesaan Allâh, atau kenabian, atau hari kebangkitan dan lain sebagainya. Sekedar menginginkan masalah-masalah ini, seseorang sudah terkena dosa dan akan disiksa. Dan ini menyebabkan dia murtad, kafir atau munafik. Masuk dalam cakupan poin ini yaitu seluruh kemaksiatan yang biasanya dikerjakan hati, misalnya mencintai apa saja yang dibenci Allâh Azza wa Jalla , membenci apa saja yang dicintai Allâh, sombong, ujub, dengki, dan buruk sangka kepada seorang muslim tanpa alasan yang benar. Meski tidak menjadikannya kafir tapi ia telah melakukan dosa sesuatu yang merupakan perbuatan organ-organ tubuh bukan hati, misalnya zina, mencuri, menenggak minuman keras, membunuh, menuduh orang baik-baik melakukan zina, dan lain sebagainya. Jika seseorang terus menerus menginginkan perbuatan tersebut, bertekad mengerjakannya, namun pengaruhnya tidak terlihat sama sekali secara fisik, apakah dia berdosa ? Tentang ini, para Ulama terbagi dua pendapat Pendapat pertama, Orang tersebut disiksa. Ibnul Mubârak rahimahullah mengatakan, “Aku pernah bertanya kepada Sufyân rahimahullah, “Apakah seseorang disiksa karena niat dan keinginannya?” Sufyân menjawab, “Jika keinginan tersebut sudah menjadi tekad, maka dia disiksa karenanya.”Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan ,”Pendapat ini dipilih oleh banyak Ulama ahli fiqih, Ulama hadits dan ahli kalam dari sahabat-sahabat kami dan yang lainnya. Mereka berhujjah dengan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya, “…Ketahuilah bahwa Allâh mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya…” [al-Baqarah/2235]Dan firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, ““… Tetapi Dia menghukum kamu karena niat yang terkandung dalam hatimu…” [al-Baqarah/2225]Dan mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam اَلْإِثْمُ مَا حَاكَ فِـيْ صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُDosa ialah sesuatu yang menggelisahkan di hatimu dan engkau tidak suka hal itu diketahui orang[20]Mereka menafsirkan kata haddatsa dalam sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam إِنَّ اللهَ تَـجَاوَزَ لِأُمَّتِـيْ مَـا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَـمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ“Sesungguhnya Allâh memaafkan umatku dari apa yang diinginkan jiwanya selagi ia tidak mengatakannya atau mengerjakannya,” dengan lintasan bisikan berkata, “Maksiat yang disenangi oleh seseorang dan tertanam dalam hati, maka itu termasuk usaha dan perbuatannya. Ia tidak dimaafkan.”Di antara mereka ada yang berkata, “Di dunia, orang tersebut disiksa dengan kesedihan dan kegalauan.” Ada lagi yang mengatakan bahwa pada hari Kiamat, Allâh menghisabnya karena perbuatan tersebut kemudian memaafkannya. Jadi hukuman orang tersebut ialah dihisab.” Ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu dan ar-Rabi’ bin Anas Radhiyallahu anhu . Itu juga dipilih Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah . Ibnu Jarir ath-Thabari radhiyallahu anhu berhujjah dengan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhu tentang bisik-bisik. Beliau berkata, “Hadits tersebut tidak berlaku umum, berlaku bagi dosa-dosa yang tidak terlihat di dunia dan bukan waswas di dada.”Pendapat kedua, orang yang berniat itu tidak disiksa sama sekali hanya karena niatnya. Imam Ibnu Rajab t mengatakan, “Pendapat ini dinisbatkan ke Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Ini pendapat Ibnu Hamid, salah seorang dari sahabat kami, karena berhujjah dengan keumuman hadits diatas. Perkataan yang sama diriwayatkan al-Aufi dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu .Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbâs dalam riwayat Muslim, “Atau Allâh menghapusnya”, maksudnya, perbuatan dosa itu bisa saja ditulis sebagai satu kesalahan untuk pelakunya, atau bisa juga dengan sebab tertentu Allâh Subhanahu wa Ta’ala menghapusnya dari siapa yang Dia kehendaki, misalnya dengan sebab istighfar, taubat, dan mengerjakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam setelah itu, “Dan tidak ada yang dibinasa kecuali orang yang binasa“, maksudnya, setelah Allâh Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan karunia-Nya yang besar dan rahmat-Nya yang luas dengan melipatgandakan balasan kebaikan serta memaafkan kesalahan, maka tidak ada yang binasa kecuali orang yang binasa, yang menjerumuskan dirinya kepada kebinasaan, berani melakukan dosa-dosa, membenci dan menjauhi berbagai amal HADITS Kesempurnaan ilmu Allâh Azza wa Jalla . Tidak ada sedikit pun di langit maupun di bumi atau yang lebih dari itu yang lepas dari jangkauan ilmu-Nya, dan tidak ada satu pun yang tersembunyi dari-Nya. Allâh mengetahui apa yang ada dalam hati antara tugas malaikat adalah mencatat kebaikan dan keburukan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menugaskan malaikat yang mulia kepada setiap orang, mereka mengetahui dan mencatat apa yang dikerjakannya, Allâh Azza wa Jalla menghitungnya sedang mereka rahmat Allâh itu sangat luas dan karunia-Nya sangat agung. Allâh Azza wa Jalla tidak melipatgandakan balasan bagi perbuatan buruk seorang hamba serta memaafkan keinginan berbuat jahat selagi tidak dilaksanakan.Penjelasan tentang karunia Allâh Azza wa Jalla terhadap ummat ini. Karena kalau bukan karena karunianya, maka tidak akan ada yang masuk Surga, sebab perbuatan dosanya lebih banyak daripada semangat dan juga memberian ancaman merupakan metode mendidik dan keburukan yang telah terjadi, urusannya telah selesai, telah ditulis dan telah perbuatan Allâh Azza wa Jalla .Karena karunia dan keadilan Allâh Azza wa Jalla , pahala kebaikan dijadikan berlipat ganda , sedangkan kejelekan dosa tidak berbagai kebaikan menjadi sebab yang bisa mengantar seseorang dan menyadarkan diri sebelum berbuat keburukan dapat mencegah diri niat dalam perbuatan dan Karîm dan ath-ThabariShahîh Imam Abu an-Nasâ’ Ibni Ibni Hibbân at-Ta’lîqâtul Hisân.Syarhus Sunnah lil al-Arba’în an-Nawawiyyah, karya Imam Yahya bin Syaraf Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Shahih HR. al-Bukhâri no. 7501, dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu [2] Shahih HR. Muslim no. 129 [205], dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . [3] Shahih HR. al-Bukhâri no. 1904, Muslim no. 1151 [164], at-Tirmidzi no. 764, an-Nasâ’i IV/162-163, Ibnu Mâjah no. 1638, 3823, dan Ibnu Hibbân no. 3414, 3415 –at-Ta’lîqâtul hisân. [4] Shahih HR. Muslim no. 2687, Ahmad V/153, dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah V/25, no. 1253, dari shahabat Abu Dzar Radhiyallahu anhu [5] Shahih HR. Muslim no. 162, dari shahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu . [6] Lihat Kitâbul Arba’în an-Nawawiyyah hlm. 106. [7] Shahih HR. Muslim no. 1892, Ahmad IV/121, dan an-Nasâ-i VI/49. [8] Lihat ad-Durrul Mantsûr III/425. [9] Tafsiir ath-Thabari II/281, no. 3659. [10] Ibid II/281, no. 3658. [11] Jâmi’ul Ulûm wal Hikam II/319. [12] Jâmi’ul Ulûm wal Hikam II/319 [13] Shahih HR. Ahmad IV/230-231, at-Tirmidzi no. 2325, Ibnu Mâjah no. 4228, al-Baihaqi IV/ 189, al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah XIV/289, no. 4097, dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabîr XXII/ 345-346, no. 868-870. [14] Diriwayatkan at-Tirmidzi no. 3032 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tafsîrnya IV/231, no. 10247, 10248. [15] HR. Imam Muslim [16] Shahih HR. al-Bukhâri no. 2528, 6664, Muslim no. 201 127, Abu Dâwud no. 2209, at-Tirmidzi no. 1183, an-Nasâ’i VI/156-157, dan Ibnu Mâjah no. 2040, 2044, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu [17] Shahih HR. al-Bukhâri no. 31, 6875, 7083, dari Shahabat Abu Bakrah Radhiyallahu anhu . [18] Hadits pada halaman disesuaikan dengan halaman majalah [19] Shahih Muslim no. 132, Ahmad II/441, 456, Abu Dâwud no. 5111, Ibnu Hibbân no. 145 –at-Ta’lîqâtul Hisân, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . [20] Lihat hadits arba’în no. 27
TikTokvideo from _ARae_774 (@_arae_774): "nikmati alur nya,. niat baik pasti ada jalan nya.". suara asli - Isi hati minang.
Connection timed out Error code 522 2023-06-16 005755 UTC What happened? The initial connection between Cloudflare's network and the origin web server timed out. As a result, the web page can not be displayed. What can I do? If you're a visitor of this website Please try again in a few minutes. If you're the owner of this website Contact your hosting provider letting them know your web server is not completing requests. An Error 522 means that the request was able to connect to your web server, but that the request didn't finish. The most likely cause is that something on your server is hogging resources. Additional troubleshooting information here. Cloudflare Ray ID 7d7f19386aba0a5c • Your IP • Performance & security by Cloudflare
Setiaporang orang hidup pasti selalu ada masalah, kadangkala masalah itu datang ketika kita bilang tidak sedang tidak siap untuk menghadapinya, ketik Niat Baik Selalu Ada Jalan - tunggu
Jikakamu punya niat baik, apa saja, maka jangan pernah takut untuk melaksanakannya. Pasti ada jalan untuk menggapainya. Di balik kesulitan, ada banyak kemudahan yang disiapkan oleh Allah. 30. Laa tahtaqir man duunaka falikulli syaiin maziyyatun. Tulisan arabnya:
SetiapMasalah Pasti Ada Jalan Penyelesaiannya Apa Yang Penting Di Balik Kesulitan Ada Kemudahan Rasa Sedih Saat Mengalami Kesulitan Percayalah Bahwa Setiap Niat Baik Pasti Akan Dimudahkan Oleh Allah Kajian Islam Intensif Modul 3 Niat Percayalah Bahwa Setiap Niat Baik Pasti Akan Dimudahkan Oleh Allah Bunuh Diri Bukan Mengakhiri Kehidupan
. 380 51 27 121 68 364 276 26
niat baik pasti ada jalan